Terimakasih

source:tumblr

Iseng banget bikin cerpen kayak gini, enjoy my cerpen yaa ^^


Sekitar 5 bulan yang lalu, aku bertemu dia. Entah dia yang bertemu aku atau aku yang bertemu dia. Saat itu aku tengah duduk di bangku taman sekolah, sendiri. Ya, hari itu adalah hari pertamaku masuk SMA. Aku yang tengah membaca buku, dihampiri olehnya. “Hey, sendirian ya ? boleh numpang duduk ?” itu kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. “Hey juga, duduk aja, aku sendirian kok,” jawabku. “Murid baru juga, ya ?” . “Iya” . “Kenalin, nama gw Rama, Ramadhan Farel Wijaya, loe ? “ kata dia sambil tersenyum. “Aku Gita, Gita Putri. Dari SMP mana ?” tanyaku. “Gw dari SMP 21, loe dari SMP mana ?” dia balik bertanya. “Aku dari SMP 17,” jawabku. “O . . .  bdw, loe suka baca ya ? kok tadi pas gw liet loe serius banget bacanya ?” . “Iya nih, asik aja baca buku, emang kamu gag suka baca buku, ya ?” aku coba tanya. “Gag begitu suka sih, jujur aja. Gw lebih suka olahraga, yang aktif, baca buku khan Cuma duduk” jawab dia. “Iya juga sih, tapi beda orang, beda hobi juga, ya” jawabku. “Iya, hehehehe. Eh, emang dari SMPmu yang masuk ke sini ada berapa orang ?” . “5 an, lah, tapi gag tau nih malah pada ngilang. Kalo’ dari SMPmu ? sendirian ya ?” tanyaku. “Ada lah, 5 orang juga, tapi ya itu, gw gag tau pada di mana, males nanyanya, gag begitu akrab juga” cerita dia. “O . . . .” aku Cuma bisa jawab itu. Tiba tiba aja bel berbunyi. “Eh, udah bel tuh, masuk dulu, yuk !” ajakku. “Yuk,eh, ntar istirahat ketemu disini lagi ya ?” ajak dia. “Okeh, bye ? !” . “Bye” .

Bel istirahat pun berbunyi, semua siswa berhamburan keluar, banyak yang udah punya temen banyak, itupun karena emang mereka satu sekolah dulu. Di kelas Cuma ada aku aja yang dari SMP 3. Aku inget janjiku tadi dengan Rama. Akupun keluar menuju bangku taman tempat kita bertemu tadi pagi. Ternyata dia sudah di sana. “Nggak ada temen , kok duluan sampe’ sini ?” tanyaku sambil duduk. “Nggak, tadi pelajarannya emang di sini. Tuh, buku gw masih di sini” kata dia sambil menunjukkan buku bahasa Inggrisnya. “Wah, enak ya, pelajaran pertama langsung bahasa Inggris” kataku sambil membuka-buka bukunya. “Enak gimana ? ! loe suka bahasa Inggris ya ?” tanya dia. “Heemb, aku minat di sastra soalnya. Kamu khan minat di olahraga. Suka olahraga apa ?” tanyaku. “Basket,” jawab dia singkat. “Pantesan tinggi kamunya, hebat. Jadi anggota basket sekolah ya biar bisa jadi prestasi ?” tawarku. “ Sebenernya gw males ikutan tim, tapi siap deh ! ! !” jawab dia senyum. “Eh, kamu mau ini ?” tawarku sambil membuka bekal ku yang kuisi biskuit. “Boleh deh, makasih ya” kata dia sembari mengambil biskuit yang aku sodorkan.

1 bulan kemudian . . .

Ternyata dia menepati janjinya. Dia masuk tim basket. Aku melihatnya saat aku mau pulang. Permainannya  memang bagus. Dengan tinggi badan yang dia punya, juga hobbinya. Saat dia memasukkan bola, terlihat begitu indah. Malamnya, saat aku membaca komik, ada pesan masuk dari nomor yang tak kukenal, “Malem, Gita. Gw dah nepatin janji sama loe buat masuk tim basket nih”, tanpa berfikirpun aku tahu kalau itu Rama. “Iya, tadi aku liet kamu pas aku mau pulang. Ternyata kamu bener-bener bagus main basketnya. Untung aku nyuruh kamu buat masuk tim. Coba klo’ enggag. Eh, kamu kok tau nomorku, dari mana ?” . “Iya, makasih ya Gita : D. Gw tw nomr loe dari Yoga, temen sekelas loe. Dia temen SMP gw. Eh, gw gag ganggu loe khan ?”. O, Yoga. Aku tau. Dia temen couo yang paling akrab sama aku. “Sama-sama : ). O, Yoga to. Tenang aja, gag ganggu kok”.

1 bulan kemudian Rama bilang kalau dia pengen aku janji sesuatu sama dia. “Kamu mau aku janji apa buat kamu ?” tanyaku waktu Rama bilang dia pengen ngomong sama aku di tempat pertama kita bertemu. “Gw sayank sama loe, Git. Gw gag maksa loe buat nerima gw. Gw cuma mau loe janji sama gw klo’ suatu saat loe bakal jadi ceue gw” kata dia. Aku tentu aja kaget. Jujur, aku juga sayank Rama. “Ram, besok Sabtu pertandingan persahabatan klub basket, khan ? aku bisa tepatin janji kamu buat jadi pacar kamu asal kamu juga mau janji sama aku buat menang di pertandingan besok” jawabku. “Serius ?” tanya Rama. “Iya, menang ya ? !” kataku meyakinkan. “Gw pasti menang buat loe, Git” . akhirnya hari Sabtu pun datang. Harus diakui, sekolah lawan memang bagus, tapi tim basket sekolahku punya Rama, si kapten yang jago basket. Pertandingan pun berakhir. Sekolahku menang tipis dibanding sekolah lain. Rama langsung menuju tempatku berada, aku berdiri di pojok lapangan. “Git, gw dah nepatin janji gw. Sekarang gw mau loe nepatin janji loe sama gw” kata dia. “Iya, aku udah nepatin janjiku” kataku sambil tersenyum. “Serius, Git ? !”

4 bulan setelah itu. Sekarang. Hanya 4 bulan kita bisa bertahan. Sebenarnya aku tidak mau berakhir seperti ini. Tapi memang harus begini akhirnya. Diawali 1 minggu yang lalu. Saat aku ke kelas Rama. Disana aku melihat Rama sedang ngobrol dengan teman ceuenya. Aku bersikap biasa. Tapi aku mendengar secara langsung dari teman-temannya bahwa Rama mempunyai kedekatan yang spesial dengan ceue itu. Memang, posisi mereka sama-sama berdua. Tapi si ceue yang terlalu serakah. Aku ingin percaya dengan Rama. Tapi sulit. Karena sepertinya Rama juga respon dengan ceue itu. Akhirnya aku hanya bisa bilang ke Rama, “Ram, untuk dulu aku memang satu-satunya buat kamu. Tapi ternyata enggak buat sekarang. Makasih ya, Ram. Udah ngisi kekosongan selama 4 bulan ini. Makasih” kataku sambil pergi. Aku tau ini sulit. Tapi ini memang yang terbaik. Aku tidak memperdulikan teriakan Rama. Aku pergi sambil bercucuran air mata. Terimakasih Rama, Ramadhan Farrel Wijaya . . .











10 years later . . .


Tepat saat aku menutup laptopku, datang seorang laki-laki berperawakan tinggi, putih, menjinjing tas selempang hitamnya. Dia berkaos putih dengan blue jeans yang dipadu dengan sepatu kets putihnya. Kalian tahu ? dia adalah calon suamiku. Ya, calon suami. Usiaku sekarang sudah menginjak 25 tahun. Dan dia ? dia adalah Dimas. Usianya 27 tahun, lebih tua 2 tahun memang. Kami pertama bertemu saat farewell party di SMA dulu. Dia adalah kakak kelasku. Kebetulan saat itu kami sama-sama ditunjuk sebagai perwakilan panitia dari tiap-tiap kelas. Disana, kami bertemu. Tepat saat aku baru saja dari kelas Rama. Sudah, aku tidak mau mengingatnya lagi. Dan ternyata, Dimas adalah kakak dari Luna, kekasih Rama saat ini. Sebenarnya aku tidak lagi peduli dengan hal itu. Aku sudah bisa melupakannya, tapi aku tidak membencinya. Melupakan tidak harus dengan membenci, bukan ? dan, harus diakui, aku dekat dengan Ibu Rama, Tante Sofi. Itu karena memang dulu aku dan teman-temanku sering ke rumah Rama untuk mengerjakan tugas sekolah. Kami sekelas waktu kelas 2 SMA, dan akulah yang paling sering membantu Tante Sofi untuk sekedar mengeluarkan camilan, membawakan minum untuk menemani kami mengerjakan tugas-tugas yang super banyak itu. Lama-lama aku dan tante Sofi pun makin akrab, aku menganggapnya sebagai Ibuku sendiri. Karena Ibuku memang sudah tidak ada. Tinggal aku dan ayahku. Itupun ayahku sekarang berada di Australia. Mengurus bisnis. Aku dan tante Sofi sering pergi bersama. Tante tidak tahu bahwa aku dan Rama pernah bersama . . . dan sampai sekarangppun aku dan Tante masih akrab. “Siang, cantik. Nunggu lama, ya ? !” sapa Dimas. “Iya, lama banget,” godaku sambil tersenyum. “Wah, marah nih ceritanya ? ! gag papa kok. Aku pergi aja deh. Biar tambah marah” goda Dimas. “Heh, enggag-enggag. Sini duduk” kataku mengalah. “Iya deh, gitu khan tambah cantik ! ! !”. “Emang udah cantik dari dulu khan ? ! hahahaha” puji ku. “Pede ! ! ! ngomong-ngomong, udah siap ganti nama jadi nyonya Dimas ?” Tanya dia. “Insyaallah siap. 1 bulan lagi, khan ? gimana kamunya ?” tanyaku balik. “Dimas harus selalu siap ! ! ayah kamu udah kamu kasih tau, khan ? gimana ? dia bisa pulang ?” Tanya dimas. “Siap. Ayah udah setuju, ayah siap pulang kapan aja buat anaknya yang paling cantik ini ! ! ! !” laporku. “Idih, cantik apaan ? ! eh, pulang yuk, udah mendung nih” ajak Dimas. “Yuk, tapi anterin aku ke rumah tante Sofi aja, ya. Aku mau ngasih undangan kita” kataku. “Siap, tuan putriku, yuk ! ! !” katanya. Kamipun melaju ke rumah tante Sofi untuk mengantarkan undangan ini. Kamipun sampai di rumah tante Sofi. Akupun turun dan mengucapkan terima kasih pada Dimas. “Ati-ati, ya. Jangan ngebut-ngebut. Kamu mau jemput Luna, kan ?” tanyaku. “Iya, maaf ya kalo’ ntar aku gag bisa jemput kamu. Gag papa, khan ? !” . “Gag papa. Udah ya, Assallamualaikum . . “ . “Wallaikumsalam”. Akupun melangkah menuju pintu rumah tante Sofi dan menekan bell. “Assallamualaikum” sapaku. “Wallaikumsalam . . .” terdengar tante Sofi menyahut dari dalam, dan gag berapa lama, tante Sofipun membuka pintu. Akupun langsung meraih tangannya dan mencium tangannya. “Ya ampun, Gita. Masuk, yuk” ajak tante. Kamipun masuk dan duduk di sofa ruang tamu. “Ada apa ini ? ? kok dateng  pas ujan-ujan gini ?” Tanya tante. Akupun langsung mengeluarkan undangan berwarna hijau dan menyerahkannya pada tante. “Undangan apa ini ?” Tanya tante. “Ini undangan pernikahan Gita, tante. 1 bulan lagi Gita menikah. Tante datang ya” kataku. “Menikah ?” tante tampak bingung. “Iya, menikah. Tante datang lo” kataku. “Gita, tante mohon batalkan pernikahan kamu” kata tante. “Apa ? ? ? ? dibatalkan ? untuk apa ? ? ? “ tanyaku kaget. “Sebenarnya tante ingin menjodohkan kamu dengan Rama”. Aku kaget mendengar jawaban tante Sofi. “Tapi tante, Gita yakin dengan pernikahan ini. Pernikahan bukan untuk main-main, tante. Lagian Rama kan sudah bersama luna” jawabku. “Tapi tante tidak setuju, Git. Tante pengennya kamu yang sama Rama. Bukan Luna”. “Tante, begini ya. Gita sudah yakin dengan pernikahan ini. Gita mencintai Dimas, tante. Rama. Rama juga sudah memiliki Luna. Mereka serius tante. Tolong jangan menghalangi mereka. Jujur, dulu Rama pernah jadian dengan Gita. Tapi itu dulu. Sekarang, pilihan Rama adalah Luna, dan pilihan Gita adalah Dimas. Tolong, tante. Tolong” kataku dengan air mata yang mengalir di pipiku. “Jadi kalian dulu pernah jadian ? ! tapi impian tante itu pengen melihat kalian berdua menikah. Kamu dan Rama”. “Tante, tolong. Gita dan Dimas bener-bener serius. Kita sudah pacaran 9 tahun, tante. Rama dan Luna, mereka sudah 4 tahun tante. Kita bener-bener serius dengan pasangan masing-masing, tante” kali ini aku tak bisa lagi membendung air mata. Tumpah semua air mataku. “Tapi . . “ . “Tante, Gita mohon. Rama memang bukan jodoh Gita. Dimas adalah yang terbaik untuk Gita, dan Luna adalah yang terbaik untuk Rama” . sejenak kami terdiam. Tiba-tiba Rama dating. Rama terlihat bingung dengan suasana ini. Tante Sofipun menyuruh Rama duduk dan menjelaskan semuanya. Rama sepaham denganku, “Ma, pernikahan itu bukan untuk main-main. Bener yang dibilang Gita. Kita emang pernah jadian . Tapi itu dulu, ma. Sekarang Gita udah punya Dimas dan mereka sebentar lagi menikah. Rama juga punya Luna, ma. Luna adalah cinta sejati Rama. Maaf, ma. Rama juga gag bisa menikah dengan Gita” kata Rama. “Tante, maaf. Tapi memang itu yang terbaik untuk kita semua” kataku. Handphoneku berdering. Dari Dimas. “Halo, Assallamualaikum” sapa Dimas. “Wallaikumsalam. Ada apa, Dim ?” tanyaku. “Enggag, Cuma pengen nelpon aja. Maaf ya aku gag bisa jemput kamu. Kamu gag papa, khan ?” Tanya Dimas. “Iya, gag papa kok. Tumben kamu minta maaf sampe’ 2 kali gitu, ada apaan sih ?” . “Gag papa. Udah dulu ya, bye. Assallamualaikum”. “Wallaikumsalam” jawabku sabil menutup telfon. “Dari Dimas, ya ?” Tanya tante. “Iya, tante.” . tak berapa lama, aku mendapat telfon lagi. Tertulis nama Dimas di sana. “Assallamualaikum. Ada apa lagi, Dim ?” tanyaku. “Eh, anu mbak. Ini temannya, ya ? ! anu mbak, orang yang punya telfon ini baru saja mendapat kecelakaan, mbak. Tertabrak bis. Sekarang masnya lagi dilarikan ke rumah sakit, bersama seorang perempuan.” Kata orang di sana. Handphone ku jatuh. Aku shock,tapi kucoba tegar. “Ada apa, Git ?” Tanya Rama. “Ram, kita harus ke rumah sakit sekarang ! ! !” kataku buru-buru. “Ada apaan sih ?” Tanya Rama. “Dimas, Ram. Dimas sama Luna kecelakaan. Kita harus ke rumah sakit sekarang  ! ! ! !” kataku. Aku dan Dimas pun langsung menuju rumah sakit. Sebelum kami pergi, tante mengatakan sesuatu pada kami. “Tante gag bermaksud kurangajar. Tapi, tante pikir apa yang tadi tante katakan akan menjadi kenyataan . . . “ tapi kami tak menghiraukannya. Sesampainya di rumah sakit, sudah ada orang tua Luna dan Dimas.

Dokter pun keluar. Pernyataannya mengejutkan kamin semua. “Maaf, pak. Saya tidak bisa berbuat lebih lagi. Anak bapak dan Ibu mengalami pendarahan hebat dan tidak bisa tertolong lagi” kata dokter sambil berlalu. Tumpahlah tangis kami. Hanya Rama yamg terlihat tabah. Itupun kulihat matanya sembab. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya di pelukan Rama. Dimas . . . .   

Komentar